Mata Uang Internet: Antisipasi Sistem Pembayaran Globalisasi
Survei terakhir Internet World Stats (Juni 2007) menunjukkan pertumbuhan pengguna internet dunia sebesar rata-rata 19 persen. Asia merupakan benua dengan populasi pengguna internet tertinggi (459 juta orang). Meski tumbuh di bawah rata-rata (12 persen), Asia menjadi target konsumen terbesar industri internet dunia.
Di sisi lain, produsen internet terbesar (dominan) berada di AS. Terjadi ketidakseimbangan permintaan-penawaran di dunia internet. Negara dengan posisi net importir akan memiliki kurs mata uang di posisi melemah. Internet sebagian besar digunakan sebagai ajang silaturahmi (e-mail, milis, chatting, dan jejaring sosial). Hal tersebut direspons produsen konten dengan penerapan layanan gratis. Itulah pendorong meluasnya daya tarik penggunaan internet. Kebiasaan transaksi gratis mendorong aktivitas lanjutan konsumen internet ke arah pemanfaatan layanan bebas informasi, baik itu search engine ataupun situs informasi itu sendiri. Terlebih, konsumen didorong terlibat sebagai produsen informasi melalui budaya blogger, tanpa dipusingkan biaya infrastrukturnya. Harga nol menjadi jati diri soft marketing di dunia internet. Banyak ekonom mensinyalir keuntungan produsen konten gratis berasal dari belanja iklan di situsnya. Benar, tetapi tak sesederhana itu jika dilihat dari sisi politik ekonomi internasional. Penyelenggara konten gratis mayoritas berada di AS sehingga pembelian bandwidth ke negara itu harus dilakukan oleh penyelenggara jasa internet (ISP) di negara tempat konsumen berada.
Di Indonesia, ISP membelanjakan biaya bandwidth terbesarnya ke jalur internasional. Pengelolaan devisa ISP "pendapatan rupiah, belanja dollar AS". Tercatatnya blogger Indonesia di rating Blog Belt, mengonfirmasi besarnya kebutuhan belanja bandwidth internasional. Rintisan e-mail dan milis gratis di Indonesia (groups.or.id) adalah upaya menguranginya, tetapi seperti biasa gerakan seperti ini tidak direspons pemerintah. Tugas utama negara adalah mengelola cadangan devisa (moneter: Bank Indonesia) di neraca perdagangan (fiskal: pemerintah). Sewajarnya, kampanye masif budaya investasi lokal haruslah menjadi agenda utama pemerintahan. Revolusi sistem pembayaran Tahapan soft marketing produsen internet selalu mengarah ke peningkatan trust konsumen atas rasionalitas risiko berinternet. Melibatkan konsumen secara interaktif, dengan mendorongnya sebagai produsen informasi, bertujuan menggeser paradigma konsumen ke arah penerimaan internet sebagai jalur distribusi perdagangan barang dan jasa yang lebih luas (e-commerce). Itulah sebabnya, kehadiran internet menjadi tak terpisahkan dari globalisasi itu sendiri. Di internet, publik terbiasa berhubungan antarbenua dengan cepat tanpa dibatasi kakunya birokrasi. Dari sisi perdagangan antarnegara, keamanan arus barang dan dana diratifikasi melalui mekanisme perbankan. Di ekspor-impor, dikenal LC (letter of credit) dari bank pembayar di negara importir sebagai syarat pengiriman barang dari negara eksportir. Penyelesaiannya melalui nilai tukar antarnegara di sistem pembayaran internasional (SWIFT/Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yang diratifikasi Bank Sentral masing-masing negara.
Internet, suka atau tidak, mampu memangkas jalur birokrasi globalisasi itu sendiri. Transaksi ekspor-impor dengan model B2B (business to business, antara perusahaan eksportir dan importir) dapat digeser menjadi B2C (business to customer) karena produsen dapat berinteraksi langsung dengan konsumennya di seluruh dunia. Yang tak berubah, pertukaran barang dan dana tetap harus dilandasi trust dari para pihak. LC telah menjadi dokumen penjamin risiko perdagangan internasional. Realita e-commerce saat ini menunjukkan ratifikasi prinsip LC dan jaringan perantaraan SWIFT telah dilakukan dengan bentuk berbeda, sesuai dengan revolusi internet atas rigiditas birokrasi itu sendiri. Tahap pertama e-commerce menggunakan sistem jaringan internasional kartu kredit (Visa-Master). Konsumen akan memiliki LC dari bank penerbit kartunya, di mana Visa-Master menjadi perantara antara bank pembayar (tempat konsumen) dan bank penagihnya (tempat rekening produsen).
Perkembangan selanjutnya adalah aktivitas kejahatan kartu kredit (carding) telah merusak tingkat trust transaksi internet, khususnya bagi produsen. Di sisi lain, fungsi kustodian (tempat fisik surat berharga) dan carrier (tempat fisik barang ekspor) tetap menjadi krusial bagi kepastian diterimanya barang oleh konsumen. Risiko carding dan kustodian merupakan pangsa pasar bagi penyelenggara keamanan jaringan (security) di internet, yakni menciptakan verifikasi atas orisinalitas identitas di internet. Rezim nomor rekening di bank pembayar, kustodian, dan carrier menjadi kunci untuk membuka jalur verifikasi jaringan itu sendiri. Dengan demikian, internet melahirkan "kecamatan elektronik global" yang menerbitkan identitas pelaku di jaringan keamanan internet menggunakan PKI (public key infrastructure). Dari sisi keamanan maupun kecepatan transaksi itu sendiri tentu menjadi tinggi beban biaya infrastruktur penyelenggara e-commerce jika aplikasinya harus menerapkan verifikasi PKI. Itulah sebabnya muncul entitas "perbankan virtual" sebagai "kelurahan transaksi elektronik" untuk pembukaan rekening konsumen dan produsen. Saat ini, jika kita masuk ke transaksi elektronik (misalnya e-Bay), kita diharuskan membuka terlebih dahulu rekening di Paypal. Perkembangan model PayPal sangat dinamis. Misalnya, untuk menggunakan akses VoIP-PSTN di Korsel, kita diharuskan menukar terlebih dahulu rupiah dengan guild. Hal ini karena penikmat aplikasinya dapat berada di negara berbeda sehingga untuk menjamin fairness pulsa VoIP-PSTN diterapkanlah mata uang internet (guild).
Fenomena internet tanpa disadari telah merevolusi rezim sistem pembayaran. Kalau kita hanya meratapi globalisasi, perlahan tetapi pasti arus devisa akan diambil lembaga microfinance seperti PayPal, yang berada di luar kontrol devisa Bank Indonesia. Terlebih, trennya mengarah ke penciptaan dominasi mata uang internet. Tidak berkembangnya industri VoIP Tanah Air adalah buktinya, di mana clearing house antaroperator adalah rezim sistem pembayaran nasional (Bank Indonesia). Itu pulalah hambatan "transfer pulsa" sebagai alat pembayaran karena koneksi operator ke sistem pembayaran belum diratifikasi. Bangsa Indonesia harus menggeser paradigma tentang internet, dari penikmat menjadi pemain. Itu hanya akan terjadi tatkala kepemimpinan politik ekonomi negeri telah dilandasi visi industrialisasi, bukan aktor yang senang pidato dari kegenitan parameter konsumsi.
REFFERENSI :
[Yanuar Rizky, www.elrizky.net, Analis Independen Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti)]
Yanuar Nugroho Sekretaris Jenderal Uni Sosial Demokrat Jakarta, Sekretaris Yayasan Elsppat Bogor dan Staf Pengajar Luarbiasa Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti Jakarta.
risbiani fardaniah/yudi yusmili
all reffrences up date 9 Mei 2008